Abu Hurairah r.a. pernah ditugaskan oleh Rasulullah S.A.W untuk menjaga gudang zakat di bulan Ramadhan. Tiba-tibamuncullah seseorang, lalu mencuri segenggam makanan. Namun kepintaran Hurairah memang patut dipuji, kemudian pencuri itu kemudian berhasil ditangkapnya. "Akan aku adukan kamu kepada Rasulullah S.A.W," gertak Abu Hurairah. Bukan main takutnya pencuri itu mendengar ancaman Abu Hurairah, hingga kemudian ia pun merengek-rengek : "Saya ini orang miskin, keluarga tanggungan saya banyak, sementara saya sangat memerlukan makanan." Maka pencuri itu pun dilepaskan. Bukankah zakat itu pada akhirnya akan diberikan kepada fakir miskin ? Hanya saja, cara memang keliru. Mestinya jangan keliru. Keesokan harinya, Abu Hurairah melaporkan kepada Rasulullah S.A.W. Maka bertanyalah beliau : "Apa yang dilakukan kepada tawananmu semalam, ya Abu Hurairah?" Ia mengeluh, "Ya Rasulullah, bahawa ia orang miskin, keluarganya banyak dan sangat memerlukan makanan," jawab Abu Hurairah. Lalu diterangkan pula olehnya, bahawa ia kasihan kepada pencuri itu,, lalu dilepaskannya. "Bohong dia," kata Nabi : "Pada hala nanti malam ia akan datang lagi." Kerana Rasulullah S.A.W berkata begitu, maka penjagaannya diperketat, dan kewaspadaan pun ditingkatkan.Dan, benar juga, pencuri itu kembali lagi, lalu mengambil makanan seperti kelmarin. Dan kali ini ia pun tertangkap. "Akan aku adukan kamu kepada Rasulullah S.A.W," ancam Abu Hurairah, sama seperti kelmarin. Dan pencuri itu pun sekali lagi meminta ampun : "Saya orang miskin, keluarga saya banyak. Saya berjanji esok tidak akan kembali lagi." Kasihan juga rupanya Abu Hurairah mendengar keluhan orang itu, dan kali ini pun ia kembali dilepaskan. Pada paginya, kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah S.A.W, dan beliau pun bertanya seperti kelmarin. Dan setelah mendapat jawapan yang sama, sekali lagi Rasulullah menegaskan : "Pencuri itu bohong, dan nanti malam ia akan kembali lagi." Malam itu Abu Hurairah berjaga-jaga dengan kewaspadaan dan kepintaran penuh. Mata, telinga dan perasaannya dipasang baik-baik. Diperhatikannya dengan teliti setiap gerak-geri disekelilingnya sudah dua kali ia dibohongi oleh pencuri. Jika pencuri itu benar-benar datang seperti diperkatakan oleh Rasulullah dan ia berhasil menangkapnya, ia telah bertekad tidak akan melepaskannya sekali lagi. Hatinya sudah tidak sabar lagi menunggu-nunggu datangnya pencuri jahanam itu. Ia kesal. Kenapa pencuri kelmarin itu dilepaskan begitu sahaja sebelum diseret ke hadapan Rasulullah S.A.W ? Kenapa mahu saja ia ditipu olehnya ? "Awas!" katanya
dalam hati. "Kali ini tidak akan kuberikan ampun." Malam semakin larut, jalanan sudah sepi, ketika tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang datang menghampiri longgokan makanan yang dia jaga. "Nah, benar juga, ia datang lagi," katanya dalam hati. Dan tidak lama kemudian pencuri itu telah bertekuk lutut di hadapannya dengan wajah ketakutan. Diperhatikannya benar- benar wajah pencuri itu. Ada semacam kepura- puraan pada gerak- gerinya. "Kali ini kau pastinya kuadukan kepada Rasulullah. Sudah dua kali kau berjanji tidak akan datang lagi ke mari, tapi ternyata kau kembali juga. Lepaskan saya," pencuri itu
memohon. Tapi, dari tangan Abu Hurairah yang menggenggam erat-erat dapat difahami, bahawa kali ini ia tidak akan dilepaskan lagi. Maka dengan rasa putus asa ahirnya pencuri itu berkata : "Lepaskan saya, akan saya ajari tuan beberapa kalimat yang sangat berguna." "Kalimat-kalimat apakah itu?" Tanya Abu Hurairah dengan rasa ingin tahu. "Bila tuan hendak tidur, bacalah ayat Kursi : Allaahu
laa Ilaaha illaa Huwal- Hayyul Qayyuuumu ….. Dan seterusnya sampai akhir ayat. Maka tuan akan selalu dipelihara oleh Allah, dan tidak akan ada syaitan yang berani mendekati tuan sampai pagi." Maka pencuri itu pun dilepaskan oleh Abu Hurairah. Agaknya naluri keilmuannya lebih menguasai jiwanya sebagai
penjaga gudang. Dan keesokan harinya, ia kembali menghadap Rasulullah S.A.W untuk melaporkan
pengalamannya yang luar biasa tadi malam. Ada seorang pencuri yang mengajarinya kegunaan ayat Kursi. "Apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?" tanya Rasul sebelum Abu Hurairah sempat menceritakan segalanya. "Ia mengajariku beberapa kalimat yang katanya sangat berguna, lalu ia saya lepaskan," jawab Abu Hurairah. "Kalimat apakah itu?" tanya Nabi. Katanya : "Kalau kamu tidur, bacalah ayat Kursi : Allaahu laa Ilaaha illaa Huwal-Hayyul
Qayyuuumu ….. Dan seterusnya sampai akhir ayat. Dan ia katakan pula : "Jika engkau membaca itu, maka engkau akan selalu dijaga oleh Allah, dan tidak akan didekati syaitan hingga pagi hari." Menanggapi cerita Abu Hurairah, Nabi S.A.W berkata, "Pencuri itu telah berkata benar, sekalipun sebenarnya ia tetap pendusta." Kemudian Nabi S.A.W bertanya pula : "Tahukah kamu, siapa sebenarnya pencuri yang ertemu denganmu tiap malam itu?" "Entahlah." Jawab Abu Hurairah. "Itulah syaitan."
Selasa, 27 Maret 2012
ALAM NASRAH
Surat ini termasuk Surat yang diturunkan di Mekkah (Makiyyah)
Terdiri dari 8 ayat
?????? ???????? ???? ????????
1. “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu.”
Makna Ayat
Bukankah kami telah mengembirakan hatimu wahai Muhammad ??, dengan mengangkatmu menjadi seorang Nabi, kau mendapat petunjuk setelah sebelumnya hatimu penuh nestapa. Sekarang hatimu telah dipenuhi oleh kasih sayang, dan penuh kelembutan. Bukankah kau sekarang kau telah menjelma menjadi manusia yang paling bahagia, paling ridha, paling senang setelah sebelumnya kau mendapat banyak kesedihan, nestapa dan duka?
??????????? ????? ????????
2. “Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu.”
Makna Ayat
Kami pun telah menghilangkan semua duka, kami pun telah mengampunimu semua dosamu baik yang lalu maupun yang akan datang. Kami telah ridha kepadamu sekaligus ampunan dan kasih sayang tercurah padamu.
??????? ??????? ????????
3. “Yang memberatkan punggungmu.”
Makna Ayat
Yaitu kebimbangan yang kau alami sebelumnya, ketika kau risau mencari jawaban sebelum kau ditunjuk menjadi seorang Nabi. Saat itu kau belum diperintah untuk melakukan ibadah dan meninggalkan semua larangan-Ku. Karena kau saat itu belum tahu apapun.
??????????? ???? ????????
4. “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”
Makna Ayat
Aku tinggikan derajatmu, dan kau bersamaKu saat ini sama-sama dipuji semua orang, baik dalam Azan, shalat maupun ketika dalam tasyahud dalam shalat.
??????? ???? ????????? ???????
5. ”Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Makna Ayat
Karena dalam kesulitan pasti ada kemudahan, setelah nestapa mucul kebahagiaan, setelah duka pasti datang kegembiraan. Seperti halnya setelah malam munculah cahaya siang. Karena kesulitan pastilah sirna dan tidak mungkin selamanya menetap pada diri seseorang begitu pula nestapa tidak akan bertahan selamanya.
????? ???? ????????? ???????
6. “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Makna Ayat
Semua jenis kesulitan pastilah hanya satu rasa saja (yaitu sakit), sedangkan kemudahan itu akan dirasakan dua macam (yaitu kegembiraan ketika terlepas dari kesulitan itu, dan kedua adanya kegembiraan dalam hati). Dengan demikian kesulitan itu pastilah akan dikalahkan oleh kemudahan. Maka berilah kegembiraan bagai orang-orang yang dalam kesulitan, bahwa kemudahan itu pasti akan datang.
??????? ???????? ????????
7. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
Makna Ayat
A.Ketika kau selesai dalam urusan dunia, bersungguhlah kemudian dalam ibadah dan kataatan lainnya. Perbanyaklah shalat sunnat, berbuat kebajikan dan tambahlah dengan amal soleh lainnya.
B. Setelah kau selesai melaksanakan shalat, berdoalah dengan penuh kesungguhan sesudahnya.
??????? ??????? ?????????
8. “Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
Makna Ayat
Hanya kepada Allah saja kau berharap dan buka pada selain-Nya. Banyaklah melakukan kebaikan yang dilandasi rasa senang dan cinta kepada Allah Swt.
Kesimpulan
1. Ayat ini menjelaskan kemuliaan yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Saw, yang antara lain berupa kebahagiaan setelah sebelumnya penuh nestapa, ampunan Allah kepada Nabi Saw dari semua dosa baik yang lalu atau yg akan datang, dan diangkatnya derajat Nabi.
2. Kegembiraan bagi seorang mukmin ketika terlepas dari duka nestapa dalam rangka memperjuangkan kemuliaan agama Islam.
3. Setelah kesulitan pastilah ada kegembiraan dan ini menjadi sunatullah selamanya. Tidak ada seseorang yang terus menerus dirundung malang tanpa berkesudahan.
4. Kehidupan seorang muslim bukan untuk bermain-main, hidup tanpa arti, atau hanya berbuat keburukan saja. Hendaknya terus berbuat yang terbaik, selalu berbuat yang berarti, bermanfaat, dan selalu memberi kualitas pada hidup atau memberi manfaat dan kualitas bagi dirinya, bagi masyarakatnya dan bagi agama Islam umumnya.
Terdiri dari 8 ayat
?????? ???????? ???? ????????
1. “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu.”
Makna Ayat
Bukankah kami telah mengembirakan hatimu wahai Muhammad ??, dengan mengangkatmu menjadi seorang Nabi, kau mendapat petunjuk setelah sebelumnya hatimu penuh nestapa. Sekarang hatimu telah dipenuhi oleh kasih sayang, dan penuh kelembutan. Bukankah kau sekarang kau telah menjelma menjadi manusia yang paling bahagia, paling ridha, paling senang setelah sebelumnya kau mendapat banyak kesedihan, nestapa dan duka?
??????????? ????? ????????
2. “Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu.”
Makna Ayat
Kami pun telah menghilangkan semua duka, kami pun telah mengampunimu semua dosamu baik yang lalu maupun yang akan datang. Kami telah ridha kepadamu sekaligus ampunan dan kasih sayang tercurah padamu.
??????? ??????? ????????
3. “Yang memberatkan punggungmu.”
Makna Ayat
Yaitu kebimbangan yang kau alami sebelumnya, ketika kau risau mencari jawaban sebelum kau ditunjuk menjadi seorang Nabi. Saat itu kau belum diperintah untuk melakukan ibadah dan meninggalkan semua larangan-Ku. Karena kau saat itu belum tahu apapun.
??????????? ???? ????????
4. “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”
Makna Ayat
Aku tinggikan derajatmu, dan kau bersamaKu saat ini sama-sama dipuji semua orang, baik dalam Azan, shalat maupun ketika dalam tasyahud dalam shalat.
??????? ???? ????????? ???????
5. ”Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Makna Ayat
Karena dalam kesulitan pasti ada kemudahan, setelah nestapa mucul kebahagiaan, setelah duka pasti datang kegembiraan. Seperti halnya setelah malam munculah cahaya siang. Karena kesulitan pastilah sirna dan tidak mungkin selamanya menetap pada diri seseorang begitu pula nestapa tidak akan bertahan selamanya.
????? ???? ????????? ???????
6. “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Makna Ayat
Semua jenis kesulitan pastilah hanya satu rasa saja (yaitu sakit), sedangkan kemudahan itu akan dirasakan dua macam (yaitu kegembiraan ketika terlepas dari kesulitan itu, dan kedua adanya kegembiraan dalam hati). Dengan demikian kesulitan itu pastilah akan dikalahkan oleh kemudahan. Maka berilah kegembiraan bagai orang-orang yang dalam kesulitan, bahwa kemudahan itu pasti akan datang.
??????? ???????? ????????
7. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
Makna Ayat
A.Ketika kau selesai dalam urusan dunia, bersungguhlah kemudian dalam ibadah dan kataatan lainnya. Perbanyaklah shalat sunnat, berbuat kebajikan dan tambahlah dengan amal soleh lainnya.
B. Setelah kau selesai melaksanakan shalat, berdoalah dengan penuh kesungguhan sesudahnya.
??????? ??????? ?????????
8. “Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
Makna Ayat
Hanya kepada Allah saja kau berharap dan buka pada selain-Nya. Banyaklah melakukan kebaikan yang dilandasi rasa senang dan cinta kepada Allah Swt.
Kesimpulan
1. Ayat ini menjelaskan kemuliaan yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Saw, yang antara lain berupa kebahagiaan setelah sebelumnya penuh nestapa, ampunan Allah kepada Nabi Saw dari semua dosa baik yang lalu atau yg akan datang, dan diangkatnya derajat Nabi.
2. Kegembiraan bagi seorang mukmin ketika terlepas dari duka nestapa dalam rangka memperjuangkan kemuliaan agama Islam.
3. Setelah kesulitan pastilah ada kegembiraan dan ini menjadi sunatullah selamanya. Tidak ada seseorang yang terus menerus dirundung malang tanpa berkesudahan.
4. Kehidupan seorang muslim bukan untuk bermain-main, hidup tanpa arti, atau hanya berbuat keburukan saja. Hendaknya terus berbuat yang terbaik, selalu berbuat yang berarti, bermanfaat, dan selalu memberi kualitas pada hidup atau memberi manfaat dan kualitas bagi dirinya, bagi masyarakatnya dan bagi agama Islam umumnya.
Senin, 26 Maret 2012
ALLAH ITU ADA
Sesungguhnya keyakinan
bahwa Allah ada tanpa
tempat adalah aqidah Nabi
Muhammad, para sahabat
dan orang-orang yang
mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan
Ahlussunnah Wal Jama ’ah; kelompok mayoritas
ummat yang merupakan
al-Firqah an-Najiyah
(golongan yang selamat).
Dalil atas keyakinan
tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun
dari makhluk-Nya, dan
tidak ada sesuatupun
yang menyerupai-Nya ”. (QS. as-Syura: 11) Ayat ini adalah ayat yang
paling jelas dalam al-
Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali
tidak menyerupai
makhluk-Nya. Ulama
Ahlussunnah menyatakan
bahwa alam (makhluk
Allah) terbagai atas dua bagian; yaitu benda dan
sifat benda. Kemudian
benda terbagi menjadi
dua, yaitu benda yang
tidak dapat terbagi lagi
karena telah mencapai batas terkecil (para ulama
menyebutnya dengan al-
Jawhar al-Fard), dan
benda yang dapat terbagi
menjadi bagian-bagian
(jism). Benda yang terakhir ini (jism) terbagi
menjadi dua macam;
1. Benda Lathif; benda
yang tidak dapat
dipegang oleh tangan,
seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan
sebagainya.
2. Benda Katsif; benda
yang dapat dipegang oleh
tangan seperti manusia,
tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat
benda adalah seperti
bergerak, diam, berubah,
bersemayam, berada di
tempat dan arah, duduk, turun, naik dan
sebagainya. Ayat di atas
menjelaskan kepada kita
bahwa Allah ta ’ala tidak menyerupai makhluk-
Nya, bukan merupakan
al-Jawhar al-Fard, juga
bukan benda Lathif atau
benda Katsif. Dan Dia
tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-
sifat benda. Ayat tersebut
cukup untuk dijadikan
sebagai dalil bahwa Allah
ada tanpa tempat dan
arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat
dan arah, maka akan
banyak yang serupa
dengan-Nya. Karena
dengan demikian berarti
ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan
kedalaman). Sedangkan
sesuatu yang demikian,
maka ia adalah makhluk
yang membutuhkan
kepada yang menjadikannya dalam
dimensi tersebut. Rasulullah bersabda:
“Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan
belum ada sesuatupun
selain-Nya ”. (H.R. al- Bukhari, al-Bayhaqi dan
Ibn al-Jarud) Makna hadits ini bahwa
Allah ada pada azal
(keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada
sesuatu (selain-Nya)
bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya,
kegelapan, ‘arsy, langit, manusia, jin, malaikat,
waktu, tempat dan arah.
Maka berarti Allah ada
sebelum terciptanya
tempat dan arah, maka Ia
tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia
tidak berubah dari
semula, yakni tetap ada
tanpa tempat dan arah,
karena berubah adalah
ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Maka sebagaimana dapat
diterima oleh akal, adanya
Allah tanpa tempat dan
arah sebelum terciptanya
tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima
wujud-Nya tanpa tempat
dan arah setelah
terciptanya tempat dan
arah. Hal ini bukanlah
penafian atas adanya Allah. Sebagaimana
ditegaskan juga oleh
sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah
meridlainya-: “Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia
(Allah) sekarang (setelah
menciptakan tempat)
tetap seperti semula, ada
tanpa
tempat ” (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-
Baghdadi dalam kitabnya
al-Farq Bayn al-Firaq, h.
333). Al-Imam al-Bayhaqi (w
458 H) dalam kitabnya al-
Asma Wa ash-Shifat, hlm.
506, berkata: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat
bagi Allah mengambil dalil
dari sabda Rasulullah: “Engkau Ya Allah azh- Zhahir (yang segala
sesuatu menunjukkan
akan ada-Nya), tidak ada
sesuatu apapun di atas-
Mu, dan Engkau al-Bathin
(yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada
sesuatu apapun di bawah-
Mu (HR. Muslim dan
lainnya). Jika tidak ada
sesuatu apapun di atas-
Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya
maka berarti Dia ada
tanpa tempat ”. Al-Imam as-Sajjad Zain
al-‘Abidin ‘Ali ibn al- Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata: “Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat ”. (Diriwayatkan oleh al-
Hafizh az-Zabidi dalam
Ithaf as-Sadah al-Muttaqin
Bi Syarh Ihya ’ ‘Ulumiddin dengan rangkaian sanad
muttashil mutasalsil yang
kesemua perawinya
adalah Ahl al-Bayt;
keturunan Rasulullah). Adapun ketika seseorang
menghadapkan kedua
telapak tangan ke arah
langit ketika berdoa, hal
ini tidak menandakan
bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi
karena langit adalah
kiblat berdoa dan
merupakan tempat
turunnya rahmat dan
barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika
melakukan shalat ia
menghadap ka ’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah
berada di dalamnya, akan
tetapi karena ka ’bah adalah kiblat shalat.
Penjelasan seperti ini
dituturkan oleh para
ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478 H)
dalam kitabnya al-Ghun-
yah, al-Imam al-Ghazali (w
505 H) dalam kitabnya
Ihya ‘Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi (w 676 H)
dalam kitabnya Syarh
Shahih Muslim, al-Imam
Taqiyyuddin as-Subki (w
756 H) dalam kitab as-
Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi.
Al-Imam Abu Ja ’far ath- Thahawi -Semoga Allah
meridlainya- (w 321 H)
berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil
maupun besar, jadi Allah
tidak mempunyai ukuran
sama sekali), batas akhir,
sisi-sisi, anggota badan
yang besar (seperti wajah, tangan dan
lainnya) maupun anggota
badan yang kecil (seperti
mulut, lidah, anak lidah,
hidung, telinga dan
lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam
arah penjuru (atas,
bawah, kanan, kiri, depan
dan belakang); tidak
seperti makhluk-Nya
yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut ”. Perkataan al-Imam Abu
Ja’far ath-Thahawi ini merupakan
Ijma ’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf
(orang-orang yang hidup
pada tiga abad pertama
hijriyah). Diambil dalil dari
perkataan tersebut
bahwasannya bukanlah maksud dari Mi ’raj bahwa Allah berada di arah atas
lalu Nabi Muhammad naik
ke arah sana untuk
bertemu dengan-Nya.
Melainkan maksud Mi ’raj adalah untuk memuliakan
Rasulullah dan
memperlihatkan
kepadanya keajaiban-
keajaiban makhluk Allah
sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al- Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak
boleh dikatakan bahwa
Allah ada di satu tempat,
atau disemua tempat, atau
ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan
bahwa Allah ada di satu
arah atau semua arah
penjuru. Al-Imam Abu al-
Hasan al-Asy ’ari (w 324 H) -Semoga Allah
meridlainya- berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa
tempat ” (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam
kitab al-Asma Wa ash-
Shifat). Al-Imam al-Asy ’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di
satu tempat atau di semua
tempat ”. Perkataan al- Imam al-Asy ’ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak
(w 406 H) dalam kitab al-
Mujarrad. Syekh Abd al-
Wahhab asy-Sya ’rani (w 973 H) dalam kitab al-
Yawaqit Wa al-Jawahir
menukil perkataan Syekh
Ali al-Khawwash: “Tidak boleh dikatakan Allah ada
di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib
diyakini adalah bahwa
Allah ada tanpa arah dan
tanpa tempat.
Perkataan al-Imam ath-
Thahawi di atas juga merupakan bantahan
terhadap pengikut paham
Wahdah al-Wujud;
mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya,
juga sebagai bantahan
atas pengikut paham
Hulul; mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua
keyakinan ini adalah
kekufuran berdasarkan
Ijma ’ (konsensus) seluruh orang Islam sebagaimana
dikatakan oleh al-Imam
as-Suyuthi (w 911 H)
dalam kitab al-Hawi Li al-
Fatawi, dan Imam lainnya.
Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati
seperti al-Imam al-Junaid
al-Baghdadi (w 297 H), al-
Imam Ahmad ar-Rifa ’i (w 578 H), Syekh Abd al-
Qadir al-Jailani (w 561 H)
dan semua Imam
tasawwuf sejati; mereka
semua selalu
mengingatkan orang- orang Islam dari para
pendusta yang
menjadikan tarekat dan
tasawuf sebagai sebagai
wadah untuk meraih
dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-
Wujud dan Hulul.
Dengan demikian
keyakinan ummat Islam
dari kalangan Salaf dan
Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa
tempat dan arah.
Sementara keyakinan
sebagian orang yang
menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya; mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah adalah benda yang
duduk di atas Arsy,
adalah keyakinan sesat.
Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah
dengan makhluk-Nya,
karena duduk adalah
salah satu sifat manusia.
Para ulama Salaf
bersepakat bahwa barangsiapa yang
menyifati Allah dengan
salah satu sifat di antara
sifat-sifat manusia maka ia
telah kafir, sebagaimana
hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu
Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab
aqidahnya yang terkenal
dengan nama “al-‘Aqidah ath-Thahwiyyah ”. Beliau berkata: “Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu
sifat dari sifat-sifat
manusia, maka ia telah
kafir ”. Perhatian ….! Waspadai.. Keyakinan
Tasybih [Keyakinan Allah
serupa dengan makhluk-
Nya] yang kian hari
semakin merebak … Jangan sampaai merusak
genarasi kita!!!?
bahwa Allah ada tanpa
tempat adalah aqidah Nabi
Muhammad, para sahabat
dan orang-orang yang
mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan
Ahlussunnah Wal Jama ’ah; kelompok mayoritas
ummat yang merupakan
al-Firqah an-Najiyah
(golongan yang selamat).
Dalil atas keyakinan
tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun
dari makhluk-Nya, dan
tidak ada sesuatupun
yang menyerupai-Nya ”. (QS. as-Syura: 11) Ayat ini adalah ayat yang
paling jelas dalam al-
Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali
tidak menyerupai
makhluk-Nya. Ulama
Ahlussunnah menyatakan
bahwa alam (makhluk
Allah) terbagai atas dua bagian; yaitu benda dan
sifat benda. Kemudian
benda terbagi menjadi
dua, yaitu benda yang
tidak dapat terbagi lagi
karena telah mencapai batas terkecil (para ulama
menyebutnya dengan al-
Jawhar al-Fard), dan
benda yang dapat terbagi
menjadi bagian-bagian
(jism). Benda yang terakhir ini (jism) terbagi
menjadi dua macam;
1. Benda Lathif; benda
yang tidak dapat
dipegang oleh tangan,
seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan
sebagainya.
2. Benda Katsif; benda
yang dapat dipegang oleh
tangan seperti manusia,
tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat
benda adalah seperti
bergerak, diam, berubah,
bersemayam, berada di
tempat dan arah, duduk, turun, naik dan
sebagainya. Ayat di atas
menjelaskan kepada kita
bahwa Allah ta ’ala tidak menyerupai makhluk-
Nya, bukan merupakan
al-Jawhar al-Fard, juga
bukan benda Lathif atau
benda Katsif. Dan Dia
tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-
sifat benda. Ayat tersebut
cukup untuk dijadikan
sebagai dalil bahwa Allah
ada tanpa tempat dan
arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat
dan arah, maka akan
banyak yang serupa
dengan-Nya. Karena
dengan demikian berarti
ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan
kedalaman). Sedangkan
sesuatu yang demikian,
maka ia adalah makhluk
yang membutuhkan
kepada yang menjadikannya dalam
dimensi tersebut. Rasulullah bersabda:
“Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan
belum ada sesuatupun
selain-Nya ”. (H.R. al- Bukhari, al-Bayhaqi dan
Ibn al-Jarud) Makna hadits ini bahwa
Allah ada pada azal
(keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada
sesuatu (selain-Nya)
bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya,
kegelapan, ‘arsy, langit, manusia, jin, malaikat,
waktu, tempat dan arah.
Maka berarti Allah ada
sebelum terciptanya
tempat dan arah, maka Ia
tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia
tidak berubah dari
semula, yakni tetap ada
tanpa tempat dan arah,
karena berubah adalah
ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Maka sebagaimana dapat
diterima oleh akal, adanya
Allah tanpa tempat dan
arah sebelum terciptanya
tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima
wujud-Nya tanpa tempat
dan arah setelah
terciptanya tempat dan
arah. Hal ini bukanlah
penafian atas adanya Allah. Sebagaimana
ditegaskan juga oleh
sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah
meridlainya-: “Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia
(Allah) sekarang (setelah
menciptakan tempat)
tetap seperti semula, ada
tanpa
tempat ” (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-
Baghdadi dalam kitabnya
al-Farq Bayn al-Firaq, h.
333). Al-Imam al-Bayhaqi (w
458 H) dalam kitabnya al-
Asma Wa ash-Shifat, hlm.
506, berkata: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat
bagi Allah mengambil dalil
dari sabda Rasulullah: “Engkau Ya Allah azh- Zhahir (yang segala
sesuatu menunjukkan
akan ada-Nya), tidak ada
sesuatu apapun di atas-
Mu, dan Engkau al-Bathin
(yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada
sesuatu apapun di bawah-
Mu (HR. Muslim dan
lainnya). Jika tidak ada
sesuatu apapun di atas-
Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya
maka berarti Dia ada
tanpa tempat ”. Al-Imam as-Sajjad Zain
al-‘Abidin ‘Ali ibn al- Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata: “Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat ”. (Diriwayatkan oleh al-
Hafizh az-Zabidi dalam
Ithaf as-Sadah al-Muttaqin
Bi Syarh Ihya ’ ‘Ulumiddin dengan rangkaian sanad
muttashil mutasalsil yang
kesemua perawinya
adalah Ahl al-Bayt;
keturunan Rasulullah). Adapun ketika seseorang
menghadapkan kedua
telapak tangan ke arah
langit ketika berdoa, hal
ini tidak menandakan
bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi
karena langit adalah
kiblat berdoa dan
merupakan tempat
turunnya rahmat dan
barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika
melakukan shalat ia
menghadap ka ’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah
berada di dalamnya, akan
tetapi karena ka ’bah adalah kiblat shalat.
Penjelasan seperti ini
dituturkan oleh para
ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478 H)
dalam kitabnya al-Ghun-
yah, al-Imam al-Ghazali (w
505 H) dalam kitabnya
Ihya ‘Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi (w 676 H)
dalam kitabnya Syarh
Shahih Muslim, al-Imam
Taqiyyuddin as-Subki (w
756 H) dalam kitab as-
Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi.
Al-Imam Abu Ja ’far ath- Thahawi -Semoga Allah
meridlainya- (w 321 H)
berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil
maupun besar, jadi Allah
tidak mempunyai ukuran
sama sekali), batas akhir,
sisi-sisi, anggota badan
yang besar (seperti wajah, tangan dan
lainnya) maupun anggota
badan yang kecil (seperti
mulut, lidah, anak lidah,
hidung, telinga dan
lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam
arah penjuru (atas,
bawah, kanan, kiri, depan
dan belakang); tidak
seperti makhluk-Nya
yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut ”. Perkataan al-Imam Abu
Ja’far ath-Thahawi ini merupakan
Ijma ’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf
(orang-orang yang hidup
pada tiga abad pertama
hijriyah). Diambil dalil dari
perkataan tersebut
bahwasannya bukanlah maksud dari Mi ’raj bahwa Allah berada di arah atas
lalu Nabi Muhammad naik
ke arah sana untuk
bertemu dengan-Nya.
Melainkan maksud Mi ’raj adalah untuk memuliakan
Rasulullah dan
memperlihatkan
kepadanya keajaiban-
keajaiban makhluk Allah
sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al- Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak
boleh dikatakan bahwa
Allah ada di satu tempat,
atau disemua tempat, atau
ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan
bahwa Allah ada di satu
arah atau semua arah
penjuru. Al-Imam Abu al-
Hasan al-Asy ’ari (w 324 H) -Semoga Allah
meridlainya- berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa
tempat ” (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam
kitab al-Asma Wa ash-
Shifat). Al-Imam al-Asy ’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di
satu tempat atau di semua
tempat ”. Perkataan al- Imam al-Asy ’ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak
(w 406 H) dalam kitab al-
Mujarrad. Syekh Abd al-
Wahhab asy-Sya ’rani (w 973 H) dalam kitab al-
Yawaqit Wa al-Jawahir
menukil perkataan Syekh
Ali al-Khawwash: “Tidak boleh dikatakan Allah ada
di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib
diyakini adalah bahwa
Allah ada tanpa arah dan
tanpa tempat.
Perkataan al-Imam ath-
Thahawi di atas juga merupakan bantahan
terhadap pengikut paham
Wahdah al-Wujud;
mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya,
juga sebagai bantahan
atas pengikut paham
Hulul; mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua
keyakinan ini adalah
kekufuran berdasarkan
Ijma ’ (konsensus) seluruh orang Islam sebagaimana
dikatakan oleh al-Imam
as-Suyuthi (w 911 H)
dalam kitab al-Hawi Li al-
Fatawi, dan Imam lainnya.
Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati
seperti al-Imam al-Junaid
al-Baghdadi (w 297 H), al-
Imam Ahmad ar-Rifa ’i (w 578 H), Syekh Abd al-
Qadir al-Jailani (w 561 H)
dan semua Imam
tasawwuf sejati; mereka
semua selalu
mengingatkan orang- orang Islam dari para
pendusta yang
menjadikan tarekat dan
tasawuf sebagai sebagai
wadah untuk meraih
dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-
Wujud dan Hulul.
Dengan demikian
keyakinan ummat Islam
dari kalangan Salaf dan
Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa
tempat dan arah.
Sementara keyakinan
sebagian orang yang
menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya; mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah adalah benda yang
duduk di atas Arsy,
adalah keyakinan sesat.
Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah
dengan makhluk-Nya,
karena duduk adalah
salah satu sifat manusia.
Para ulama Salaf
bersepakat bahwa barangsiapa yang
menyifati Allah dengan
salah satu sifat di antara
sifat-sifat manusia maka ia
telah kafir, sebagaimana
hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu
Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab
aqidahnya yang terkenal
dengan nama “al-‘Aqidah ath-Thahwiyyah ”. Beliau berkata: “Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu
sifat dari sifat-sifat
manusia, maka ia telah
kafir ”. Perhatian ….! Waspadai.. Keyakinan
Tasybih [Keyakinan Allah
serupa dengan makhluk-
Nya] yang kian hari
semakin merebak … Jangan sampaai merusak
genarasi kita!!!?
Langganan:
Postingan (Atom)