Sesungguhnya keyakinan
bahwa Allah ada tanpa
tempat adalah aqidah Nabi
Muhammad, para sahabat
dan orang-orang yang
mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan
Ahlussunnah Wal Jama ’ah; kelompok mayoritas
ummat yang merupakan
al-Firqah an-Najiyah
(golongan yang selamat).
Dalil atas keyakinan
tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun
dari makhluk-Nya, dan
tidak ada sesuatupun
yang menyerupai-Nya ”. (QS. as-Syura: 11) Ayat ini adalah ayat yang
paling jelas dalam al-
Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali
tidak menyerupai
makhluk-Nya. Ulama
Ahlussunnah menyatakan
bahwa alam (makhluk
Allah) terbagai atas dua bagian; yaitu benda dan
sifat benda. Kemudian
benda terbagi menjadi
dua, yaitu benda yang
tidak dapat terbagi lagi
karena telah mencapai batas terkecil (para ulama
menyebutnya dengan al-
Jawhar al-Fard), dan
benda yang dapat terbagi
menjadi bagian-bagian
(jism). Benda yang terakhir ini (jism) terbagi
menjadi dua macam;
1. Benda Lathif; benda
yang tidak dapat
dipegang oleh tangan,
seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan
sebagainya.
2. Benda Katsif; benda
yang dapat dipegang oleh
tangan seperti manusia,
tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat
benda adalah seperti
bergerak, diam, berubah,
bersemayam, berada di
tempat dan arah, duduk, turun, naik dan
sebagainya. Ayat di atas
menjelaskan kepada kita
bahwa Allah ta ’ala tidak menyerupai makhluk-
Nya, bukan merupakan
al-Jawhar al-Fard, juga
bukan benda Lathif atau
benda Katsif. Dan Dia
tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-
sifat benda. Ayat tersebut
cukup untuk dijadikan
sebagai dalil bahwa Allah
ada tanpa tempat dan
arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat
dan arah, maka akan
banyak yang serupa
dengan-Nya. Karena
dengan demikian berarti
ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan
kedalaman). Sedangkan
sesuatu yang demikian,
maka ia adalah makhluk
yang membutuhkan
kepada yang menjadikannya dalam
dimensi tersebut. Rasulullah bersabda:
“Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan
belum ada sesuatupun
selain-Nya ”. (H.R. al- Bukhari, al-Bayhaqi dan
Ibn al-Jarud) Makna hadits ini bahwa
Allah ada pada azal
(keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada
sesuatu (selain-Nya)
bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya,
kegelapan, ‘arsy, langit, manusia, jin, malaikat,
waktu, tempat dan arah.
Maka berarti Allah ada
sebelum terciptanya
tempat dan arah, maka Ia
tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia
tidak berubah dari
semula, yakni tetap ada
tanpa tempat dan arah,
karena berubah adalah
ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Maka sebagaimana dapat
diterima oleh akal, adanya
Allah tanpa tempat dan
arah sebelum terciptanya
tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima
wujud-Nya tanpa tempat
dan arah setelah
terciptanya tempat dan
arah. Hal ini bukanlah
penafian atas adanya Allah. Sebagaimana
ditegaskan juga oleh
sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah
meridlainya-: “Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia
(Allah) sekarang (setelah
menciptakan tempat)
tetap seperti semula, ada
tanpa
tempat ” (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-
Baghdadi dalam kitabnya
al-Farq Bayn al-Firaq, h.
333). Al-Imam al-Bayhaqi (w
458 H) dalam kitabnya al-
Asma Wa ash-Shifat, hlm.
506, berkata: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat
bagi Allah mengambil dalil
dari sabda Rasulullah: “Engkau Ya Allah azh- Zhahir (yang segala
sesuatu menunjukkan
akan ada-Nya), tidak ada
sesuatu apapun di atas-
Mu, dan Engkau al-Bathin
(yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada
sesuatu apapun di bawah-
Mu (HR. Muslim dan
lainnya). Jika tidak ada
sesuatu apapun di atas-
Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya
maka berarti Dia ada
tanpa tempat ”. Al-Imam as-Sajjad Zain
al-‘Abidin ‘Ali ibn al- Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata: “Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat ”. (Diriwayatkan oleh al-
Hafizh az-Zabidi dalam
Ithaf as-Sadah al-Muttaqin
Bi Syarh Ihya ’ ‘Ulumiddin dengan rangkaian sanad
muttashil mutasalsil yang
kesemua perawinya
adalah Ahl al-Bayt;
keturunan Rasulullah). Adapun ketika seseorang
menghadapkan kedua
telapak tangan ke arah
langit ketika berdoa, hal
ini tidak menandakan
bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi
karena langit adalah
kiblat berdoa dan
merupakan tempat
turunnya rahmat dan
barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika
melakukan shalat ia
menghadap ka ’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah
berada di dalamnya, akan
tetapi karena ka ’bah adalah kiblat shalat.
Penjelasan seperti ini
dituturkan oleh para
ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478 H)
dalam kitabnya al-Ghun-
yah, al-Imam al-Ghazali (w
505 H) dalam kitabnya
Ihya ‘Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi (w 676 H)
dalam kitabnya Syarh
Shahih Muslim, al-Imam
Taqiyyuddin as-Subki (w
756 H) dalam kitab as-
Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi.
Al-Imam Abu Ja ’far ath- Thahawi -Semoga Allah
meridlainya- (w 321 H)
berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil
maupun besar, jadi Allah
tidak mempunyai ukuran
sama sekali), batas akhir,
sisi-sisi, anggota badan
yang besar (seperti wajah, tangan dan
lainnya) maupun anggota
badan yang kecil (seperti
mulut, lidah, anak lidah,
hidung, telinga dan
lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam
arah penjuru (atas,
bawah, kanan, kiri, depan
dan belakang); tidak
seperti makhluk-Nya
yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut ”. Perkataan al-Imam Abu
Ja’far ath-Thahawi ini merupakan
Ijma ’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf
(orang-orang yang hidup
pada tiga abad pertama
hijriyah). Diambil dalil dari
perkataan tersebut
bahwasannya bukanlah maksud dari Mi ’raj bahwa Allah berada di arah atas
lalu Nabi Muhammad naik
ke arah sana untuk
bertemu dengan-Nya.
Melainkan maksud Mi ’raj adalah untuk memuliakan
Rasulullah dan
memperlihatkan
kepadanya keajaiban-
keajaiban makhluk Allah
sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al- Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak
boleh dikatakan bahwa
Allah ada di satu tempat,
atau disemua tempat, atau
ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan
bahwa Allah ada di satu
arah atau semua arah
penjuru. Al-Imam Abu al-
Hasan al-Asy ’ari (w 324 H) -Semoga Allah
meridlainya- berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa
tempat ” (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam
kitab al-Asma Wa ash-
Shifat). Al-Imam al-Asy ’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di
satu tempat atau di semua
tempat ”. Perkataan al- Imam al-Asy ’ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak
(w 406 H) dalam kitab al-
Mujarrad. Syekh Abd al-
Wahhab asy-Sya ’rani (w 973 H) dalam kitab al-
Yawaqit Wa al-Jawahir
menukil perkataan Syekh
Ali al-Khawwash: “Tidak boleh dikatakan Allah ada
di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib
diyakini adalah bahwa
Allah ada tanpa arah dan
tanpa tempat.
Perkataan al-Imam ath-
Thahawi di atas juga merupakan bantahan
terhadap pengikut paham
Wahdah al-Wujud;
mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya,
juga sebagai bantahan
atas pengikut paham
Hulul; mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua
keyakinan ini adalah
kekufuran berdasarkan
Ijma ’ (konsensus) seluruh orang Islam sebagaimana
dikatakan oleh al-Imam
as-Suyuthi (w 911 H)
dalam kitab al-Hawi Li al-
Fatawi, dan Imam lainnya.
Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati
seperti al-Imam al-Junaid
al-Baghdadi (w 297 H), al-
Imam Ahmad ar-Rifa ’i (w 578 H), Syekh Abd al-
Qadir al-Jailani (w 561 H)
dan semua Imam
tasawwuf sejati; mereka
semua selalu
mengingatkan orang- orang Islam dari para
pendusta yang
menjadikan tarekat dan
tasawuf sebagai sebagai
wadah untuk meraih
dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-
Wujud dan Hulul.
Dengan demikian
keyakinan ummat Islam
dari kalangan Salaf dan
Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa
tempat dan arah.
Sementara keyakinan
sebagian orang yang
menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya; mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah adalah benda yang
duduk di atas Arsy,
adalah keyakinan sesat.
Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah
dengan makhluk-Nya,
karena duduk adalah
salah satu sifat manusia.
Para ulama Salaf
bersepakat bahwa barangsiapa yang
menyifati Allah dengan
salah satu sifat di antara
sifat-sifat manusia maka ia
telah kafir, sebagaimana
hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu
Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab
aqidahnya yang terkenal
dengan nama “al-‘Aqidah ath-Thahwiyyah ”. Beliau berkata: “Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu
sifat dari sifat-sifat
manusia, maka ia telah
kafir ”. Perhatian ….! Waspadai.. Keyakinan
Tasybih [Keyakinan Allah
serupa dengan makhluk-
Nya] yang kian hari
semakin merebak … Jangan sampaai merusak
genarasi kita!!!?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar